Kamis, 22 Januari 2009

Mari Bicara…

Oleh: Dra. Anis Byarwati, MSi.
“Kenapa ya, setiap acara seperti ini pasti yang datang ibu-ibu lagi, bapak-bapaknya nggak ada. Padahal ibu-ibu kan sudah sering ikut acara ini. Kita-kita sih sudah tahu, sudah ngerti kewajiban-kewajiban kita. Bapak-bapaknya dong di dauroh -ikut pelatihan- juga, biar seimbang”

“Ustadz, subhanallah, materinya bagus sekali. Kerjasama suami istri dalam membina rumah tangga dan pendidikan anak memang sangat penting. Usul kita ustadz, bagaimana kalau para suami kita juga ikut diberikan materi seperti ini?”

Kita pasti pernah mendengar komentar seperti di atas. Memang belum pernah dilakukan penelitian secara khusus, tapi dari pengamatan saya, acara-acara tentang pembinaan keluarga dan pendidikan anak kelihatannya lebih sering ditujukan, diminati dan dihadiri oleh kaum perempuan. Pernah juga ada pihak yang membuat acara serupa dengan membuka peserta untuk umum, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi agaknya tidak mendapat cukup respon dari kaum laki-laki sehingga tetap saja mayoritas peserta adalah kalangan perempuan.



Jarang sekali acara tentang pembinaan keluarga samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) atau tentang pendidikan anak penuh sesak oleh bapak-bapak. Ada juga sih bapak-bapak yang hadir, tapi biasanya jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dan fenomena ini hampir merata terjadi di semua wilayah dakwah. Terlepas dari kesibukan kaum bapak sehingga tidak sempat menghadiri acara-acara itu, atau kurang piawainya pihak penyelenggara dalam mengemas acara menjadi menarik, saya ingin menyoroti persoalan itu dari sisi lain.

Kita tentu sepakat bahwa persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak bukan hanya menjadi kepentingan akhawat dan ummahat. Terlebih dua persoalan ini merupakan salah satu indikator penting kesuksesan dakwah. Karena suksesnya dakwah bukan hanya ditandai dengan munculnya figur-figur pribadi istimewa, tetapi juga tampilnya keluarga-keluarga sebagai keluarga yang layak menjadi qudwah –teladan-.

Terkait persoalan ini, menjadi menarik untuk menggali mengapa kaum bapak cenderung lebih ‘diam, kalem, tenang’, sehingga terkesan ‘kurang peduli’ terhadap persoalan rumah tangga, dibanding kaum ibu.

Sharing saya dengan seorang teman, ternyata ada perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam hal ini:
1. Rata-rata lelaki begitu menghadapi masalah dalam kehidupannya, cenderung meringankan beban dengan cara diam. Maka, dalam dunia psikologi dikenal ada “siklus diam” pada lelaki. Sedangkan pada kaum perempuan, begitu ada masalah, cenderung meringankan beban dengan jalan menceritakan masalah kepada orang lain.
2. Rata-rata lelaki memiliki “batas ambang rasa aman terhadap masalah” yang lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan.

Itulah sebabnya –mungkin–, di lembaga-lembaga konsultasi keluarga umumnya, yang lebih sering datang adalah kaum perempuan.
Itulah sebabnya –mungkin–, dalam suatu forum atau majelis kaum bapak, tidak banyak dibicarakan persoalan keluarga, berbeda dengan majelis atau forum kaum ibu.
Itulah sebabnya –mungkin–, acara-acara yang membahas persoalan keluarga seperti daurah, seminar, atau acara sejenis, lebih banyak dihadiri kaum perempuan.

Kalau tidak percaya, tanyakan kepada bapak-bapak dalam suatu halaqah atau majelis: “Adakah masalah dalam rumah tangga antum yang ingin didialogkan ?” Sebagian besar jawabannya adalah diam, atau menjawab, “Tidak ada. Kami bisa atasi sendiri”. Respon ini berbeda dengan rata-rata majelis para ibu.

Nah, jika kita memahami persoalan ini, di satu sisi, kita para istri tak perlu gundah jika suami sedang berada pada ‘siklus diam’nya, tidak berbicara, karena, hal itu bukan berarti suami kita tidak peduli dengan persoalan rumah tangga, tapi justru sedang berusaha meringankan bebannya. Yang penting, siklus diamnya tak berlarut-larut kan?

Namun disisi lain, sebaiknya kita juga tidak terjebak pada fenomena ini. Saya pikir, justru kita perlu mencari formula yang tepat dan melegakan untuk ‘mengajak para bapak berbicara’, dan memberikan pendapatnya mengenai persoalan rumah tangga, setelah siklus diamnya berakhir.

Baik. Sekarang, mari kita kembali membahas tentang keterkaitan dakwah dengan persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak. Kita tahu, dakwah ini serius melakukan serangkaian kajian-kajian yang berkaitan dengan manhaj –kurikulum- pembinaan keluarga dan pendidikan anak. Hasilnya? Serangkaian arahan telah disosialisasikan melalui kegiatan rutin pekanan kita, mulai dari arahan tentang persiapan menikah, tentang pernak-pernik pernikahan dan kehidupan rumah tangga, sampai arahan tentang pendidikan anak.

Di samping itu, masih ingat materi tarbiyah yang membahas tentang ahdaaf ad da’wah (Sasaran Dakwah)? Sangat jelas digambarkan dalam materi itu, bahwa dakwah kita memiliki sasaran-sasaran yang harus dicapai secara bertahap. Ada lima sasaran yang hendak dicapai oleh dakwah kita, yang antara satu sasaran dengan sasaran lainnya saling terkait, saling mempengaruhi dan saling menentukan. Jika sasaran pertama tidak berhasil dicapai, sasaran kedua tidak mungkin dicapai. Jika sasaran kedua dapat dicapai tapi dalam jangka waktu yang sangat lambat, maka sasaran ketigapun akan mengalami keterlambatan dalam pencapaiannya, begitu terjadi seterusnya.

Untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan materi itu, sasaran pertama yang hendak dicapai dakwah kita adalah binaa’ al-fardi al-muslim (terbentuknya pribadi muslim). Sasaran berikutnya adalah terbentuknya keluarga muslim (binaa’ al usrah al muslimah). Dua sasaran ini saling terkait dalam arti, berhasil atau tidaknya kita membentuk diri kita menjadi kader-kader yang memiliki kepribadian islami, akan sangat mempengaruhi dan menentukan pencapaian sasaran kedua, yaitu terbentuknya keluarga-keluarga islami (dengan segala muwashafat/karakteristiknya). Begitu pula, keberhasilan pencapaian sasaran kedua ini akan menentukan keberhasilan pencapaian sasaran ketiga, yaitu binaa’ al mujtama’ al-islami (terbentuknya masyarakat Islam), dan seterusnya. Jadi, jangan mimpi kita akan memiliki ad-daulah islamiyah dan al-khilafah al-islamiyah yang merupakan sasaran keempat dan kelima dari dakwah ini, jika dari sekarang kita tidak memberi perhatian pada pencapaian sasaran-sasaran sebelumnya.

Jadi, dalam manhaj dakwah, persoalan pembinaan keluarga dan pendidikan anak adalah persoalan yang sangat serius.

Tetapi persoalan membina keluarga dan mendidik anak tentunya tidak boleh hanya sekedar menjadi program di atas kertas. Yang lebih penting adalah memposisikan dua hal penting ini sebagai salah satu yang menjadi prioritas amal. Mengapa? Karena pembinaan keluarga dan pendidikan anak bukanlah semata terkait dengan amal atau target pribadi. Dalam pandangan saya, bagi kita kader dakwah, dua hal ini merupakan sebuah misi mulia yang harus kita laksanakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab sebagai bentuk kontribusi langsung dan nyata kita dalam rangka mencapai dan merealisasikan sasaran dakwah!

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua, ikhwan dan akhawat, untuk ‘lebih serius lagi’ menata rumah tangga kita, membina keluarga kita, mendidik anak-anak kita, dengan menambahkan satu semangat…”Ini adalah bagian penting dari misi, tugas dan kontribusi dakwah kita!” Allahu a’lam"

Sumber www.dakwatuna.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar